KPR oh KPR, Beli 2 Rumah dapat 1, Luar Biasa

Ilustrasi rumah KPR/Kompas
JBNN.net, Memiliki hunian atau rumah pribadi adalah impian semua orang, baik itu dengan membangun sendiri dilahan yang sudah ada, maupun membeli rumah jadi baik dengan cara cash maupun kredit.
Pembelian rumah memalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) memang menjadi trend baru masyarakat tanah air. Meski tanpa disadari untuk dapat memiliki rumah harus merongoh rupiah dua kali lipat dari harga rumah sebenarnya.
pasalnya, Suku bunga kredit perbankan tingginya masih ampun-ampunan. Hamba cicilan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) mungkin paham, beli rumah harga Rp 500 juta, cicilan yang harus dibayar adalah Rp 1 miliar.
Ada potensi bunga kredit akan terus naik. Bank Indonesia (BI) baru saja memutuskan untuk ‘memainkan’ Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rapat dewan gubernur (RDG) terakhir.
GWM adalah dana yang wajib ditempatkan perbankan di bank sentral. GWM adalah salah satu instrumen (tools) kebijakan moneter untuk ‘menyedot’ dan ‘menyemprot’ likuiditas ke pasar.
Saat bank sentral merasa likuiditas sudah berlebih sehingga menimbulkan ekses inflasi, maka GWM dinaikkan. Likuiditas disedot dari perekonomian.
Inilah yang akan dilakukan BI. Mulai Maret nanti, BI akan menaikkan GWM secara bertahap.
Pada tahap pertama, GWM akan naik 150 basis poin (bps) menjadi 5% dengan pemenuhan harian 1% pada 1 Maret 2022. GWM Rerata ditetapkan sebesar 4%.
Kemudian pada 1 Juni 2022 GWM akan naik 100 bps menjadi 6% dengan pemenuhan harian 1%. GWM Rerata ditetapkan 5%.
Terakhir, GWM akan naik lagi sebesar 50 bps menjadi 6,5% pada September 2022 dengan pemenuhan harian 1%. GWM Rerata ditetapkan 5,5%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa kenaikan GWM tidak akan membuat perbankan ‘tercekik’. Meski likuiditas disedot sekitar Rp 200 triliun, tetapi bank masih punya ruang untuk menyalurkan kredit karena likuiditas tetap memadai.
“Likuiditas masih berlebih. Dengan penyerapan likuiditas (melalui GWM), jumlahnya akan turun tetapi sangat-sangat longgar,” tegas Perry.
Akan tetapi, yang namanya penarikan likuiditas tentu akan mempengaruhi biaya dana perbankan. Kalau biaya dana sudah naik, maka bank hampir pasti akan menaikkan suku bunga kredit.
Padahal suku bunga kredit di Tanah Air masih tinggi. Meski BI sudah menurunkan suku bunga acuan secara agresif sejak awal pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), tetapi penurunan suku bunga kredit belum bisa mengimbangi.
Sejak Januari 2020 hingga Januari 2022, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah turun 150 basis poin (bps). Sepanjang Januari 2020 hingga November 2021, suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) turun 129 bps, belum searah dengan penurunan suku bunga acuan.
Namun yang lebih mengenaskan adalah suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Per Oktober 2021, rata-rata KPR rupiah di perbankan komersial adalah 8,11%. Dibandingkan posisi Januari 2020, hanya berkurang 61 bps.
Suku bunga KPR di Indonesia jauh lebih tinggi ketimbang di negara-negara tetangga. Di Singapura, rata-rata suku bunga KPR di 10 perbankan terbesar pada November 2021 ada di 2,81%. Di Thailand, rata-rata suku bunga KPR per 20 Januari 2022 adalah 6,67%.
Sekarang coba kita lihat betapa mahalnya biaya yang harus ditanggung rakyat Indonesia saat melunasi KPR. Mengutip kalkulator KPR di rumahku.com, kita asumsikan jumlah pinjaman yang diberikan bank adalah Rp 500.000.000. Dengan bunga 8,1% dan tenor 25 tahun, maka cicilan yang wajib dibayar nasabah adalah Rp 3.892.262 per bulan.
Dengan demikian, total biaya yang dikeluarkan untuk melunasi KPR selama 25 tahun adalah Rp 1.167.678.603. Rinciannya, pokok pinjaman Rp 500.000.000 dan bunga Rp 667.678.603.
Beli rumah Rp 500 juta tetapi yang dibayar hampir Rp 1,2 miliar. Bunga lebih mahal dari pinjaman pokok. Luar biasa…
Dengan kata lain, dengan uang sebesar Rp. 1 Milyar lebih itu seharusnya sudah bisa mendapakan 2 unit rumah dengan harga masing-masing Rp. 500 juga, namun karena membeli rumah dengan cara KPR maka hanya bisa didapatkan 1 unit.
Itu kalau bunga KPR masih 8,1%. Nantinya seiring kenaikan GWM, ada kemungkinan suku bunga KPR akan ikut terkerek. Harga yang harus dibayar untuk bisa mendapatkan tempat berteduh bakal makin mahal.
Well, keputusan BI untuk menaikkan GWM mungkin terasa seperti bahasa langit. Terlalu tinggi, terlalu susah dicerna. Namun dampak kebijakan itu akan sangat terasa bagi rakyat jelata, misalnya kepada para hamba KPR.[CNBCIndonesia]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *