Akademisi Hukum Tata Negara USK : Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh Secara Hukum Sah

Bendera bintang bulan dan lambang aceh
Bendera bintang bulan dan lambang aceh
JBNN.net, Banda Aceh-Hurriah Foundation pada hari Jum’at (14/1/2022) bekerjasama dengan TVRI ACEH menyelenggarakan Dialog Publik yang dilaksanakan dalam secara Live di Studi TVRI Aceh. 
Kegiatan Dialog Publik tersebut menghadirkan tiga narasumber utama yaitu Dahlan Jamaluddin, S.IP (Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)), Dr. Otto Syamsuddin Ishak (Sosiolog Aceh dan juga Akademisi Universitas Syiah Kuala), dan Kurniawan S, S.H., LL.M (Akademisi Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Syiah Kuaka). Kegiatan Dialog Publik tersebut mengambil tema “Kepastian Hukum Qanun Bendera dan Lambang Aceh”.
Akademisi Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Syiah Kuala salah satu Narasumber Kunci menyebutkan bahwa terkait Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh menyebutkan bahwa dasar Konstitusional diperbolehkan bagi Provinsi Aceh untuk menentukan dan menetapkan Bendera Aceh adalah diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang pada intinya mengamanatkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, yang diatur dengan undang-undang”.
Aceh merupakan satu satunya provinsi di Indonesia yang mendapatkan kedua status satuan pemerintahan tersebut secara bersamaan, dimana status satuan pemerintahan yang bersifat khusus diberikan kepada Aceh berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan status satuan Pemerintahan yang bersifat istimewa juga diberikan kepada Aceh dengan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sementara provinsi lainnya di Indonesia hanya diberikan satu status satuan pemerintahan saja, dimana Provinsi Papua hanya diberikan status sebagai satuan pemerintahan yang bersifat ‘Khusus’ dan tidak secara bersamaan diberikan status satuan pemerintahan yang bersifat “Istimewa” sebagaimana halnya Provinsi Aceh. Demikian juga halnya dengan Yogyakarta yang hanya diberikan status satuan pemerintahan yang bersifat “Istimewa” saja dan tidak secara bersamaan mendapatkan status satuan pemerintahan yang bersifat “Khusus” sebagaimana halnya Provinsi Aceh, sebut Kurniawan.
Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin (Kiri), Akademisi Hukum Tatanegara Universitas Syiah Kuala (Tengah) dan  Dr. Otto Syamsuddin Ishak (Sosiolog Aceh dan juga Akademisi Universitas Syiah Kuala)(Kanan) [Foto/Ist]

Selanjutnya sebagai manifestasi dari amanat ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut, maka bagi daerah – daerah provinsi di Indonesia yang diberikan status satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa diatur dengan UU tersendiri.
Khusus untuk Provinsi Aceh saat ini, dasar legalitas pemberlakuan status satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selanjutnya dalam Pasal 246 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengamanatkan bahwa “Selain bendera Merah Putih (sebagai bendera Nasional), pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”.
“Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwasanya secara hukum, keberadaan “bendera daerah Aceh” (terlepas dari pro kontra yang terjadi saat ini) pada hakikatnya merupakan cerminan irisan diantara kedua status satuan pemerintahan yang dikenal dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu status satuan pemerintahan yang bersifat khusus dan juga status satuan pemerintahan yang bersifat istimewa”, jelas Kurniawan S, S.H., LL.M – Akademisi Hukum Tata Negara (HTN) yang juga Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA).
Menurut Kurniawan, pembentukan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, bukanlah semata-mata karena “hasrat politik” dari Pemerintah Aceh dan DPRA masa itu, melainkan merupakan amanat berupa pilihan (opsional) yang diberikan oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tepatnya Pasal 246 ayat (2) yang pada intinya mengamanatkan bahwa “Selain bendera Merah Putih sebagai bendera Nasional, pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan”.
Kurniawan menyebutkan bahwa “Sebelum dikeluarkannya Putusan MK No. 56/PUU – XIV/2016 yang mencabut kewenangan Pemerintah dalam melakukan executive review, Pemerintah memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 145 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”, termasuk terhadap berbagai Qanun Aceh salah satunya adalah Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh”.
Adapun keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda dimaksud, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 145 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”.
Secara de facto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masa itu dalam rentang waktu lebih dari 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh tidak pernah membatalkan Qanun tersebut yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat (3).
Lebih lanjut Kurniawan menjelaskan bahwa “Konsekuensi hukum dengan tidak dibatalkannya Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tersebut oleh Presiden yang ditetapkan dengan Perpres dalam rentang waktu paling lama 60 hari terhitung sejak diterimanya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tersebut, maka sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 145 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, bahwa “Apabila Pemerintah tidak membatalkan mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Perda (dalam hal ini Qanun Aceh No. 3 Tahun 2014 tentang Bendera dan Lambang Aceh) dinyatakan sah”.
Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah berada pada Presiden yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres). Sementara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah (bukan dalam bentuk kewenangan membatalkan). Selanjutnya berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri tersebut, jika tidak ditemukan suatu peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka perda tersebut diberlakukan. Namun sebaliknya, bilamana berdasarkan hasil pengawasan Mendagri berupa evaluasi ditemukan suatu peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka selanjutnya Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden untuk membatalkan peraturan daerah dimaksud. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 37 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang pada intinya mengamanatkan bahwa “Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibatalkan oleh Presiden berdasarkan usulan menteri”, jelas Kurniawan, SH, LL.M dalam dialog publik yang diselenggarakan Hurriah Foundation, Jumat (14/1) di Banda Aceh.
Lebih lanjut Kurniawan (Akademisi Hukum Tata Negara USK yang juga Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA), menyimpulkan bahwasanya oleh karena di mata hukum, keberadaan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh sudah sah berlaku, maka di mata hukum pula, bahwa keberadaan Bendera Aceh (meskipun menurut Pemerintah masih tidak sesuai dengan sebagaimana yang diatur dalam PP No. 77 Tahun 2007 tentang Bendera dan Lambang Daerah), maka haruslah dipandang bahwa “Bendera daerah Aceh tersebut, bukanlah merupakan simbol kedaulatan dan oleh karenanya tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh” sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 246 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwasanya, seyogyanya keberadaan Bendera Aceh tidaklah menjadi polemik berkepanjangan”, Sebut Kurniawan S, S.H., LL.M.
Lebih lanjut Kurniawan menjelaskan bahwa “Sebagai konsekuensi kita bernegara dan berbangsa dalam negara Indonesia yang berdasarkan pada Hukum (Rechtstaat) bukan berdasarkan pada kekuasaan “Machstaat”, maka hukum haruslah menjadi panglima dan menjadi parameter (pakem) dalam penyelesaian berbagai dinamika sosial, politik, ekonomi dan lainnya yang terjadi dimasyarakat. Meskipun di sisi yang lain, faktanya hukum itu sendiri merupakan produk kebijakan politik. Namun ketika suatu kebijakan politik dibentuk oleh lembaga yang telah diberi kewenangan untuk itu, dan juga telah melalui keseluruhan mekanisme/prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka dalam konteks bernegara dan berbangsa yang benar dan sesuai dengan harapan para founding fathers serta tujuan dan cita-cita nasional, maka “dinamika serta hasrat politik” haruslah mengikuti “Hukum” yang telah dibentuk tersebut. Meskipun dalam suatu waktu, hukum tertentu sebagai produk kebijakan politik tersebut nantinya dapat diubah atau dicabut keberlakuannya menyesuaikan dengan hasrat politik melalui negosiasi politik di suatu masa di masa setelah hukum tersebut dibentuk, sebut Kurniawan.
Oleh karena ruang eksekutif review masa itu telah berakhir masa waktu 60 hari terhitung sejak diterimanya Qanun Aceh tersebut, maka satu satunya peluang melakukan review terhadap Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh adalah melalui “Legislatif Review”.
Seharusnya bilamana ada pihak yang masih tidak sepakat dengan pilihan jenis bentuk Bendera Aceh sebagaimana yang ada pada Qanun Aceh tersebut, maka secara hukum langkah yang harusnya dilakukan adalah mendorong untuk dilakukannya Legislatif Review kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk melakukan revisi terhadap Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh tersebut, sebut Kurniawan, Akademisi Hukum Tata Negara USK.
“Namun bilamana Pemerintah tetap melarang untuk dinaikkan Bendera Aceh tersebut, maka SEHARUSNYA Pemerintah kembali membuka ruang dialog (dengan mengakhiri cooling down) antara Pemerintah dengan Pemerintahan Aceh (legislatif dan eksekutif) untuk membangun kesepahaman dan rasa saling percaya sekaligus mendiskusikan berbagai hal yang bersifat substansial dan strategis yang dapat dilakukan dalam waktu dekat ke depan untuk efektifitas implementasi Qanun Aceh tersebut di masa mendatang”, sebut Kurniawan(Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *