 |
Foto:Ist |
JBNN.Net ,Aceh Besar | Mercusuar Pulo Aceh Jadi destinasi wisata sejarah terletak di Desa Meulingge, Pulau Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar.
Monument sejarah ini tak luput dari peninggalan sejarah di aceh semasa perang belanda yang sekarang diberi nama mercusuar Willem’s Torrent III. Sejak zaman belanda mercusuar ini masih berdiri kokoh hinga kini
Para wisataan baik lokal maupun manca negara tak asing dilihat kalau kita berda di pulau breueh ini, baik karena penasaran akan peninggalan sejarah ini dan tak luput juga setiap pengunjung kesana untuk mengabadikan foto dan vidoe di tempat tersebut
Menara suar berusia ratusan tahun ini dibangun Belanda pada 1875 itu berada di hutan Meulingge yang menghadap ke Samudera Hindia.
 |
Menara Mercuar Pulau Aceh(Foto:Ist) |
Kemudian untuk menuju ke lokasi, traveler dari Banda Aceh dapat menuju ke Pulau Breueh menggunakan kapal nelayan yang ada di Lampulo, harga ketempat tersebut mulai dari Rp 30 ribu/penumpang kalau ingin membawa motor itu bisa langsung dinegosiasi dengan awak kapal biasanya sekitaran 150 Ribu/motor
Sesampai kita di pulau Breueh kita bisa menggunakan motor atau berjalan kaki yang memakan waktu kurang lebih 1 jam, dan dikarenakan Jalanan menuju ke Mercusuar sudah beraspal. Hanya sekitar 200 meter yang masih berbatuan ketika masuk ke gerbang Mercusuar.
biasanya para wisatawan harus membawa bekal sendiri sebelum menaiki gunung yang menuju ke mercusuar karena di tempat tersebut tidak ada supermarket
 |
Pengunjung Mengabadikan foto keindahan Dari Mercuar (Foto:Ist) |
Namun jangan khawatir disana tersedia penginapan yang dapat disewa oleh para wisatawan yang ingin bermalam ditempat tersebut dan akan ada petugas penjaga yang akan yang selalu ulu hilir dari mercusuar ke desa setempat untuk membeli perlengkapan para penginap. Sebagai Aceh Nangroe Syariah tentunya terdapat tempat ibadah yang dapat digunakan oleh para wisataan
Traveler diperbolehkan masuk hingga ke puncak menara suar. Namun sebelum naik, siapkan dulu kuda-kuda yang kuat karena untuk mencapai lampu suar traveler harus menapaki 167 anak tangga.
Ketika berada di dalam menara suar berarsitektur Belanda itu, traveler dihadapkan dengan anak tangga terbuat dari besi. Bangunan berlantai tujuh itu memiliki dinding dengan ketebalan sekitar satu meter.
Kelelahan saat menapaki ratusan anak tangga seketika sirna begitu tiba di atas menara suar. Traveler dapat menikmati tiupan angin yang menenangkan serta menikmati panorama alam Pulau Breueh.
Dari atas itu, travelers juga dapat melihat Pulau Weh serta Pulau Rondo. Selain itu, kapal-kapal yang berlayar di zona ekonomi eksklusif (ZEE) juga tampak bila cuaca sedang bagus.
Di atas puncak menara suar juga terdapat ruang kaca yang berisi dua lampu. Namun satu lampu berukuran besar sudah tidak menyala.
Mercusuar menjadi daya tarik tersendiri bagi pulo breueh yang menjadi salah satu bangunan yang wajib dikunjungi. Dan ini adalah satu di antara tiga peninggalan atau pun tiga mercusuar yang ada di dunia.
 |
Menara Mercuar pulau Aceh(Foto:Ist) |
Dikutip dari berbagai sumber, mercusuar yang dibangun di sana mengadopsi nama sang raja yang menguasai Luksemburg (1817-1890), yakni Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk. Menara dibangun dalam kompleks seluas 20 hektare. Di sana juga masih bangunan peninggalan Belanda lainnya.
Selama memerintah, Willem disebut banyak berperan membangun ekonomi dan infrastruktur di wilayah Hindia Belanda, termasuk Pulo Aceh. Willem membangun mercusuar ini sebagai usaha menyiapkan Sabang sebagai salah satu Pelabuhan transit di Selat Malaka
Sementara itu salah satu wisataan Rudi mengatakan bahwa keindahan Pulo Breueh masih sangat alami terdengar dari suara-suara burung yang berkicau, ditambah lagi dengan adanya mercusuar yang menjadi tujuan utama kami ingin melihat peninggalan belanda yang masih kokoh sampai saat ini, rasa lelah yang kami lalui dapat terbayar lunas ketika berda di puncak mercusuar. Tuturnya.
tak hanya wisatawan lokal dan nasional,Mercusuar Pulo Aceh juga menjadi daya tarik wisatawan mancanegara.
Tentu sebagai daerah yang memberlakukan peraturan syaraiat Islam sebagai mana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam dan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
Diharapkan para wisatawan lokal,nasional maupun mancanegara mematuhi peraturan yang diatur dalam peraturan Syariat itu,misalnya,para pengunjung di larang melakukan pelanggaran syriat Islam seperti,khalwat,ikhtilat,dan lain-lain
 |
Penampakan dari udara Mercuar(Foto:Ist) |
Begitupun, Mercusuar Pulo Aceh tidak lepas dari sejarah perjuangan ulama Aceh dalam mempertahankan Syariat Islam dan bumi Aceh dari penjajahan kolonial Belanda. salah satunya adalah ulama sekaligus tokoh pahlawan nasional tercatat dalam sejarah Mercuar pulau Aceh.
Sejarah mencatat, Teungku Chik di Tiro adalah ulama besar sekaligus panglima perang yang memimpin pasukan Aceh melawan Belanda pada kurun waktu 1881 hingga 1891. Lahir pada 1836 dengan nama asli Muhammad Saman, Chik di Tiro mengobarkan semangat perang sabil bersama Teungku Chik Pante Kulu. Datang dari Tiro, Pidie, ia menjadikan Meureu, Indrapuri, Aceh Besar, sebagai benteng pertahanan. Untuk menaikkan semangat pejuang, ia memperkenalkan semboyan mati syahid untuk mengusir Belanda dari bumi Aceh.
Kedatangan pasukan Aceh tercium pasukan Belanda. Dua hari berselang, pada 12 November, Belanda menambah pasukan. Sekitar 300 prajurit dari Batalyon Infanteri 14 Koeta Raja dikirim ke Pulo Breueh. Dipimpin Mayor JWStemfoort, bala bantuan diperkuat dengan kapal uap
Zr.Ms. Merapi , Zr.Ms. Banda dan Zr.Ms. Bali. Sehari kemudian, tiba lagi 150 pasukan yang dibekali amunisi lengkap.
Pada 14 November, operasi besar dilakukan di Pulo Breuh. Hasilnya, Belanda mendeteksi keberadaan sekitar 300 pasukan Aceh di kawasan Lampuyang, beberapa kilometer dari mercusuar. Mereka sedang mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang pangkalan marinir dan kawasan mercusuar.
Besoknya, perang pecah. Pasukan Aceh keluar dari Lampuyang dan bergerak menyerang pasukan Belanda. Belanda melancarkan serangan balasan pada malam hari. Oleh Belanda, serangan balasan itu disebut sebagai hukuman bagi pasukan Aceh.
Tepat pukul 12 malam, pasukan Belanda bergerak mengepung Lampuyang. Dari darat, 540 perwira dan prajurit bersenjata lengkap merapat ke Lampuyang. Sementara dari laut, tiga kapal uap yaitu, Zr.Ms. Merapi , Zr.Ms. Banda dan Zr.Ms. Bali ikut mengepung dengan moncong meriam siap ditembakkan.
Dalam dokumen yang dirilis Belanda menggambarkan betapa gempuran malam itu menjadikan susana Lampuyang terang-benderang. Dentam senajata bersahutan sepanjang malam diselingi ledakan mortar yang ditembakkan dari kapal dan itu menjadi pukulan berat bagi pasukan Aceh. Ledakan mortar itu ditulis Belanda sebagai sebuah tembakan yang ‘indah’ lantaran hutan di sekitar Lampuyang menjadi terang dan kapal berguncang hebat.
Di atas ombak yang digambarkan sangat besar, sepanjang malam itu kapal terus meraung di sekitar pantai dengan menghujam tembakan ke Lampuyang. Bagaimanapun, pertahanan gerilya pasukan Aceh membuat pertempuran berlangsung dari tengah malam itu sampai pagi hingga sore harinya.
Peperangan terus berlanjut hingga malam hari membuat Belanda mengakui kehilangan banyak prajurit dan seorang sersan dinyatakan terbunuh. Sementara prajurit dengan luka berat diangkut ke armada di dekat mercusuar untuk mendapat perawatan medis.(Adv)
68